Tulisan ini berawal dari kekurangnyamanan ketika membaca beragamnya cara penulisan kata yang berasal dari bahasa Arab di berbagai media seperti surat kabar, majalah maupun tulisan ilmiah. Apalagi penerjemahan buku-buku dari bahasa Arab ke Indonesia meningkat luar biasa dalam dasawarsa terakhir. Jelas saja hal ini membuat masyarakat bingung mengenai bagaimanakah sebenarnya cara penulisan yang tepat.
Apabila dilacak, hal ini disebabkan oleh alih aksara (transliterasi), alih bunyi (transkripsi), dan kata serapan dari bahasa Arab ke Indonesia. Ternyata bukan urusan yang sederhana.
Dalam hal alih aksara, dijumpai beberapa cara alih aksara yang berbeda dari Arab ke Latin dalam bahasa Indonesia. Padahal sebenarnya telah ada pedoman berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 22 Januari 1988.
Ketika dilacak, sumber kesulitan untuk menerapkan SKB tersebut ialah penggunaan sebagian huruf dalam SKB tersebut yang sulit atau bahkan tidak dapat diketik. Maksudnya, penggunaan tanda titik di atas huruf s dan z maupun di bawah huruf h, s, d, t, dan z. Kita ambil contoh mengenai berbagai jenis huruf “s”:
- huruf ke-4 “tsa” ditulis “s” dengan titik di atasnya;
- huruf ke-12 “sin” ditulis “s”;
- huruf ke-13 “syin” ditulis “sy”; dan
- huruf ke-14 “shad” ditulis “s” dengan titik di bawahnya.
Akibatnya, berbagai pihak yang berkepentingan (karena setiap saat berhubungan dengan hal ini) berupaya menetapkan pedoman alih aksara sendiri guna memudahkan pengetikan. Terutama hal ini tampak pada sebagian besar penerbit buku keislaman yang menerjemahkan buku-buku dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia meskipun beberapa penerbit tetap mengikuti SKB. Sebagian perguruan tinggi Islam pun menggunakan pedoman alih aksara yang berbeda-beda untuk kalangan sendiri.
Dalam hal ini, alih aksara yang diterapkan oleh sebagian besar penerbit buku keislaman semakin diterima oleh masyarakat. Contoh di atas diubah menjadi:
- huruf ke-4 “tsa” ditulis “ts”;
- huruf ke-12 “sin” ditulis “s” (tetap);
- huruf ke-13 “syin” ditulis “sy” (tetap); dan
- huruf ke-14 “shad” ditulis “sh”.
Sebagai contoh ialah beragamnya cara penulisan nama masjid di Palestina yang sedang menjadi berita hangat di media massa. Ada yang menulis Masjid Al Aqsha, Al Aqsa atau sebagaimana pengucapannya, yaitu Al Aqsho, Al Aqso. Atau memisahkan “Al” dengan tanda hubung. Atau menuliskan “al” dengan “a” dalam huruf kecil.
Pertama-tama, kita perlu mencari tahu terlebih dahulu penulisan dalam bahasa aslinya. Ternyata memakai huruf “shad”, berarti “sh” dalam alih aksara.
Kita mengetahui bahwa harakat (tanda baca) dalam bahasa Arab ada tiga buah, yaitu: “a, i, dan u”. Oleh karena itu, meskipun dibaca “o”, namun ditulis “a”. Disamping itu, Departemen Agama belakangan ini memakai tanda hubung setelah “Al”.
Dengan demikian, cara penulisannya ialah Masjid Al-Aqsha atau setidaknya Masjid Al Aqsha. Keduanya dibolehkan dipakai pada waktu ini.
Oleh karena SKB tidak berterima sampai sekarang, mengapa pedoman tersebut tidak diperbarui saja supaya ada keseragaman alih aksara?
Saya mendukung pendapat sebagian ahli bahasa bahwa alih aksara kata Arab (termasuk nama orang dan negara) semestinya merujuk langsung dari huruf dan bahasa Arab, bukan melalui ejaan bahasa barat seperti Inggris atau Perancis di media massa. Sebagai contoh, menulis kota di negara Oman dengan “Muscat” (dari alih aksara ke bahasa Inggris). Banyak orang tidak tahu bahwa orang sana membacanya “Masqot” sehingga kita seharusnya menuliskannya “Masqat”.
Ada kecenderungan bahwa Pusat Bahasa ingin menyederhanakan ejaan pengalihan kata dari bahasa Arab dalam menyerap ke dalam bahasa Indonesia. Kecuali untuk kata-kata yang telah lama terserap ke dalam bahasa Indonesia, cara penyederhanaan ini kurang berkenan bagi sebagian besar bangsa Indonesia yang muslim. Sedikit berbeda ejaan, arti dapat berbeda jauh. Untuk itu, Pusat Bahasa patut memahami perasaan sebagian besar bangsa ini. Misalnya kitab suci “Al-Qur’an” seyogyanya ditulis seperti ini alih-alih “Alquran” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang tidak berterima.
Ini baru sebagian dari permasalahan alih aksara dari bahasa Arab ke Indonesia yang masih mengganjal, terutama dalam kaitannya dengan melonjaknya jumlah buku terjemahan dari bahasa Arab ke Indonesia. Masih banyak lagi yang perlu dibahas.
Sekaligus untuk Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, dan Pusat Bahasa, bagaimana tindak lanjutnya?
Copyright © ProZ.com, 1999-2024. All rights reserved.